Masyarakat Adat Colol saat ini merupakan orang-orang dari 14 panga (suku/klen) yang dalam perkembangannya hidup bersama di sebelah utara Gunung Golo Lalong dan Gunung Poco Nembu. Dalam perkembangannya, mereka bermukim berdampingan dan hidup dengan berburu dan bercocoktanam padi dan tanaman lain dengan cara gilir-balik di dalam lingko/ladang melalui sistem tata-kelola khas berbentuk jaring laba-laba. Keempatbelas panga itu adalah Ongga, Colol, Maro, Paleng Cibal, Raci, Pupung, Nggari, Ngkiong, Waling, Urung, Cabo, Ngaung Wae, Taga, dan Weli. Keempatbelas panga itu memiliki asal-usul yang beragam, di antara panga yang dipercaya berasal dari luar pulau Flores adalah Panga Paleng Cibal dari Minangkabau, Sumatera Barat serta dua Panga yang dipercaya berasal dari Sulawesi Selatan yaitu Panga Colol dari Gowa dan Panga Maro dari Maros. Adapun Panga Ongga dipercaya sebagai orang-orang pertama yang tinggal di dalam Gua/Liang Karung di Roga Rungkus sebelah utara Gunung Golo Lalong, Panga Waling datang dari sebelah selatan dari Gunung Golo Lalong, Panga Ngkiong dan Panga Urung berasal dari sebelah utara dari Gunung Poco Nembu, sedangkan panga-panga yang lain datang dari Tanah Manggarai lainnya. Pemilihan “Colol” sebagai nama Masyarakat Adat yang berlokasi di Utara Gunung Golo Lalong berhubungan dengan dinamika perkembangan panga colol dan 13 panga lainnya dengan masyarakat adat maupun kerajaan lain di sekitarnya.
Dituturkan bahwa sejarah awal mula Panga Colol yang berasal dari wilayah Gowa dibawa oleh leluhur mereka bernama Ranggarok pada sekitar tahun 1600-an. Ranggarok menetap di sebelah barat Gendang Racang yang saat itu diberi nama Golo Meka (Tamu). Ranggarok kemudian menikah dengan putri Racang bernama Pote Dondeng. Ranggarok dan Pote Dondeng kemudian memiliki anak bernama Mondo dan tinggal di Golo Mondo (Lingko Lowo saat ini). Mondo memiliki 3 keturunan yaitu: Tepa Ameneras, Tambur Amelaju, dan Dai Amebangkis. Dai Amebangkis kemudian juga melahirkan 3 anak yaitu: Timur yang menikah dengan Banir dari Panga Paleng Cibal, Iye yang menikah dengan Jangu (orang Panga Maro pertama yang tinggal di Beo Pumpung), dan Mumbung Amelebe putra satu-satunya dari Dai Amebangkis. Pada saat itu, pemukiman Beo Mondo sudah berpindah ke sebelah selatan menjadi beo baru dan dinamakan Pumpung (Lingko Pumpung saat ini) dibuktikan dengan adanya pekuburan leluhur Boa Ala di sebelah selatannya.
Beo Pumpung masa itu berlokasi tidak jauh dengan Wilayah Gelarang-satuan wilayah di atas Beo-Racang yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bima. Hal itu menyebabkan adanya interaksi yang dinamis antara orang-orang Beo Pumpung dan orang-orang dari Gelarang Racang. Sampai pada suatu saat, Kerajaan Bima meminta utusan pada Gelarang Racang untuk membantu perang melawan Kerajaan Langa di Bajawa. Saat itu Gelarang Racang meminta seorang ksatria panga colol bernama Mumbung Amelebe dari Beo Pumpung untuk menjadi utusan dari Gelarang Racang. Gayung bersambut, berangkatlah Mumbung Amelebe menjadi perwakilan Gelarang Racang dengan membawa Jimat Acuhindos milik Racang, berperang bersama Pasukan Kerajaan Bima. Pada perang itu Pasukan Kerajaan Bima dikalahkan Pasukan Kerajaan Langa. Namun, walau mengalami kekalahan, Mumbung Amelebe dapat kembali ke Beo-nya dengan selamat. Nama Mumbung Amelebe saat itu menjadi lebih terkenal pasca selamat dari perang.
Kerajaan Bima di kemudian hari ingin memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke wilayah di sekitar Beo Pumpung tempat Mumbung Amelebe tinggal. Mendengar itu, Mumbung Amelebe kemudian mendirikan benteng di sebelah selatan beo-nya dan dinamakan Benteng Pipit untuk menahan gempuran Pasukan Kerajaan Bima. Ia dibantu oleh Wakecera Tunggul Amenus dari Beo Ncegak saat menghadapi pasukan Kerajaan Bima dan berhasil mempertahankan wilayahnya. Saat itu, pasukan Kerajaan Bima menderita kekalahan dengan jumlah korban yang tidak sedikit dan dimakamkan di sebuah tempat yang dinamakan Boa Ala (dekat Goa Maria Colol saat ini). Sisa pasukan Kerajaan Bima dikejar hingga terdesak di Golo Leda. Panglima Perang Bima saat itu kemudian memberikan sumpah/wada kepada Mumbung Amelebe dan pasukannya yang berbunyi:
“Iyoo…. ngong ite kraeng, wangka leso ho’o nang wa empo anak dami, toe weda kole lami tanah Pumpung. Eme brani kigm naigm ami ko keturunan dami, kude te pura mukang wajo kampong, dara dami cama wae wa’a, ulu dami cama watu rutup.”
“Saat ini kami bersumpah kepada tuan-tuan, ketika kami atau keturunan kami datang lagi ke Pumpung untuk berperang, maka darah kami mengalir bagaikan air dan kepala kami bertumpuk bagaikan tumpukan batu.”
Peristiwa deklarasi sumpah/wada itu diabadikan dengan dibuatnya Mesbah/tumpukan batu di Golo Leda (Beo Leda di Wilayah Adat Racang saat ini).
Pasca perang itu, banyak darah mengalir sampai ke wilayah Beo Pumpung sehingga membuat orang-orang memutuskan untuk pindah ke sebelah utara. Pemukiman baru di utara Beo Pumpung itulah yang kemudian berkembang menjadi “Gendang Colol” yang dipimpin oleh Tua Golo (Ketua Adat) dan Tua Teno (Pemangku Adat Urusan Tanah dan Ritual) dari Panga Colol. Kata “Colol” sendiri dipercaya sebagai kata suci yang diberikan tuhan dan dituturkan pertama oleh Mumbung Amelebe. Beberapa identitas budaya yang terbentuk sejak itu antara lain 1. Gagasan “Gendang One Lingko Peang” sebagai suatu filosofi atas kesatuan kampung dan lahan garapan, 2. Gagasan sistem ruang hidup dalam unsur utama yang 5 (lima): ”Mbaru Bate Kaeng”, “Natas Bate Labar”, “Compang Bate Takung/Dari”, “Wae Bate Teku”, & ”Uma Bate Duat”, 3. Konsep pembagian “Lingko” (ladang) yang berbentuk jaring laba-laba berjumlah sesuai dengan jumlah Panga yang ada di Gendang itu dengan tata kelola yang arif, 4. Ritual Adat Tahunan “Hang Woja” atau “Penti” sebagai bentuk syukur atas panen dan pengharapan untuk panen berikutnya, 5. Seperangkat aturan adat terkait segala sendi kehidupan yang mengikat, dan lain sebagainya. Masyarakat Adat Colol juga memiliki tempat bermitos bernama Nenteng Nganggo di Lingko Nganggo, Gendang Biting yang dipercaya memuat penanda kematian dengan terlihatnya dari jauh kain kafan berwarna (putih, hitam, maupun merah). Adapula kisah tentang kemunculan Watu Tokol di Gendang Welu dari sebuah kampung purbakala bernama Bealeda. Konon warga kampung itu membutuhkan api pada saat hujan lebat sehingga sulit untuk mendatangi rumah yang memiliki api. Terpaksa warga rumah yang apinya masih hidup, mengikatkan batangan kayu berapi di ekor anjing. Anjing yang merasa kepanasan itu akhirnya panik dan menari-nari di halaman rumah. Roh penjaga kampung marah dan memberikan hukuman dengan menenggelamkan kampung itu sehingga memakan banyak korban. Adapun warga yang selamat berlarian ke luar kampung menuju bukit. Sesampainya di atas bukit, warga menoleh ke arah kampung mereka yang tenggelam. Tiba-tiba mereka berubah menjadi batu yang dikenal dengan Watu Tokol yang memuat gambaran-gambaran warga saat itu.
Pada sekitar tahun 1700an, keturunan Tepa Ameneras berpindah dari Gendang Colol membentuk pemukiman baru di sebelah barat dan terbentuklah Gendang Bele. Pemukiman di Gendang Bele itu kemudian pindah ke arah selatan dan menjadi Gendang Welu sampai saat ini. Penamaan “Welu” itu dikisahkan karena adanya Pohon Kemiri (Pohon Welu) yang tumbuh di sana. Setelah Gendang Biting mekar, oleh karena perkembangan jumlah penduduk di Gendang Colol, Tua Golo saat itu menugaskan Suru untuk menjadi Tua Golo di pemukiman baru yang dinamakan Gendang Biting. Adapun Tua Teno dipilih dari Panga Pupung. Pasca Gendang Biting mekar, tidak lama kemudian dibentuk lagi Gendang Tangkul dengan Tua Golo pertama bernama Carong dari Panga Colol. Namun, karena Corong lebih sering bermukim di lingkonya, maka ditugaskanlah Canggung dari Panga Maro sebagai pelaksana tugas Tua Golo di Gendang Tangkul. Adapun Tua Tenonya dipilih dari Panga Taga yang berasalusul dari daerah Manggarai. Saat ini Tua Golo Tangkul masih tetap berasal dari Panga Colol. Keempat gendang itulah yang merupakan perkembangan wilayah dalam sebuah Gelarang Colol yang dikepalai dengan seorang Kepala Gelarang dengan Wakil di setiap Gendangnya.
Pada zaman kolonial, dituturkan bahwa terjadi interaksi antara Masyarakat Adat Colol dengan Bangsa Asing. Pada tahun 1927 Pater Yansen, SVD dari Jerman membangun gereja pertama di Lengko Ajang (di Kel. Golo Wangkung, Kec. Sambi Rampas saat ini) dan membawa agama Katolik yang diterima Masyarakat Adat Colol. Ajaran Katolik berkembang berdampingan dengan nilai-nilai dan tradisi warisan leluhur. Adapun Bangsa Belanda membawa tanaman baru seperti kopi untuk ditanam masyarakat. Pada sekitar tahun 1920an Belanda mencanangkan wilayah Colol sebagai pusat pengembangan kopi karena kecocokan karakteristik alamnya. Sejak saat itu, budidaya kopi itu mengubah jenis tanaman mayoritas di wilayah Colol yang sebelumnya didominasi padi, jagung, ubi jalar, kentang, singkong, keladi, dan lain-lain. Pada tahun 1937, Belanda mengadakan sayembara petani kopi terbaik di Manggarai yang dimenangkan oleh Bernadus Ojong dari Colol. Ia dihadiahi sebilah parang dan bendera Belanda dengan gambar daun kopi arabika dan tulisan “Pertandingan Keboen Kopi Manggarai” di tengahnya. Pada tahun yang sama Kolonial Belanda secara sepihak mengambilalih 29 lingko di Colol dan menetapkannya sebagai kawasan hutan dengan memasang PAL tanda batas berdasarkan Surat Penetapan Kepala Daerah Flores tentang Kelompok Hutan Tutupan Ruteng 118 No. 10, 2 Juni 1936 yang disahkan oleh Residen Timor, Onder Hori Lobeyden melalui surat No.64/lk, 24 Juni 1936. Saat itu Gendang Tangkul juga masuk ke Kawasan RTK 118. Masyarakat Adat Colol, Warga Gendang Tangkul menolak kampungnya menjadikan kawasan hutan. Belanda kemudian menetapkan enclave (PAL OKA). Pengambilalihan 29 lingko oleh Belanda itu menjadi awal dari masa suram Masyarakat Adat Colol di kemudian hari.
Pasca kemerdekaan Indonesia, berkembanglah konsep desa gaya baru pasca UU Desa terbit. Pada tahun 1969, wilayah Gelarang Colol masuk ke dalam Desa Ulu Wae yang mencakup 4 gendang di Colol dan 2 gendang lain yaitu Gendang Racang dan Gendang Wuas. Desa Ulu Wae kemudian mekar menjadi Desa Rende Nau pada tahun 1996. Pada akhir 2010, Desa Rende Nau mekar menjadi Desa Wejang Mali. Di tahun yang sama Desa Ulu Wae mekar menjadi Desa Colol. Saat ini 4 desa itu memiliki wilayah yang sesuai dengan 4 gendang yaitu, Gendang Induk Colol (dan Gendang Racang) secara administratif masuk ke Desa Colol, Gendang Welu (Desa Wejang Mali), Gendang Biting (Desa Ulu Wae), dan Gendang Tangkul (Desa Rende Nau). Dalam konteks perkembangan desa itu, tatanan kehidupan masyarakat Colol berdasarkan adat masih terus berjalan dan mapan.
Pada tahun 1960an terjadi 2 kali penangkapan dengan total jumlah 13 orang pemilik lingko-yang dulunya diklaim oleh Belanda-oleh Pemkab Manggarai. Sepuluh pemilik lingko pertama dijatuhi hukuman 1 bulan penjara dan 3 lainnya dengan putusan denda Rp. 500. Pada kisaran tahun 1970 terjadi bencana longsor di Gendang Tangkul dan memakan korban 12 orang meninggal. Pada kisaran tahun 1970an itu juga Pemkab Manggarai menetapkan “Pungutan Bagi Hasil” atas 29 lingko yang diambilalih Belanda sebesar 60% milik pemerintah dan 40% milik warga. Saat itu, tokoh muda bernama Nobertus Jerabu dari Colol mengajukan keberatan ke Panglima Komando Operasi Tertib (PANGKOBKABTIB) di Jakarta yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengirimkan tim investigasi. Hingga hasil investigasi berdasar bukti itu membuat Pemkab Manggarai menghentikan pungutan bagi hasil pada tahun 1977. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 8 November 1980, Bupati Manggarai (Frans Dula Burhan, SH), dengan para camat, dan para kepala desa di sekitar kawasan hutan tutupan menandatangani Berita Acara Pengukuhan Hutan Tutupan versi Pemerintah Kolonial Belanda tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat Colol.
Pada periode tahun 2000—2004 dapat dikatakan merupakan puncak masa suram bagi Masyarakat Adat Colol. Dimulai dari penangkapan 6 orang Colol dari Gendang Tangkul dan dijatuhi hukuman 1 tahun 8 bulan penjara tanpa alasan yang jelas. Pada 28 Agustus 2003, Bupati Manggarai mengeluarkan Surat Keputusan No: Pb.188.45/22/VIII/2003, tentang Pembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu Tingkat Kabupaten (TPHTK) yang kemudian dilanjutkan secara operasional dengan mengeluarkan Surat Tugas No. DK.522.11/973/IX/2003 tertanggal 3 Oktober 2003 tentang Perintah kepada TPHTK untuk melaksanakan Operasi Terpadu Penertiban dan Pengamanan Kawasan Hutan Kabupaten Manggarai sejak 6 Oktober 2003—hingga selesai. Pada tanggal 14—17 Oktober 2003 TPHTK melakukan pembabatan kopi dan semua tanaman pangan seperti pisang, keladi, dan padi milik Warga Gendang Tangkul. Pembabatan itu berlanjut ke tiga Gendang lainnya pada tanggal 21 Oktober 2003, bahkan TPHTK juga mendirikan basecamp di lingko-lingko milik Masyarakat Adat Colol. Sembari tanaman pangan dan komoditas dibabat, Masyarakat Adat Colol melakukan proses-proses pencarian keadilan ke berbagai pihak seperti Pemerintah Kabupaten Manggarai dan DPRD yang menghasilkan keputusan penghentian sementara operasi. Tanggal 3 Desember 2003 10 orang Masyarakat Adat Colol yang diwakili para Penasehat Hukum (Advokat) menggugat 2 keputusan Bupati tentang Operasi Pengamanan TPHTK ke PTUN Kupang.
Pada tanggal 4 Maret 2004, Tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) melakukan patroli ke lingko-lingko yang “telah dioperasi” oleh Tim TPHTK dan melarang pemilik lingko beraktifitas di kebunnya. Larangan yang tidak diindahkan itu kemudian dilaporkan Tim BKSDA ke Bupati Manggarai yang ditindaklanjuti dengan mengadakan Rapat MUSPIDA yang dihadiri oleh Kepala BKSDA, Kepala Dishut, Satpol PP, dan Camat Poco Ranaka. Pada tanggal 9 Maret 2004, Bupati Manggarai yang bernama Antoni Bagul Dagur itu beserta rombongan meninjau lokasi Rencana Tanah Kehutanan (RTK) 118 Ruteng dan menangkap 5 orang Gendang Tangkul dan 2 orang Desa Tango Molas. Kejadian hari itu membuat Masyarakat Adat Colol prihatin dan keesokan harinya mereka mengunjungi saudara mereka di Polres Manggarai di Ruteng. Sekitar 120an orang Colol berangkat menuju Ruteng pada hari Rabu 10 Maret 2004 menggunakan beberapa mobil. Sesampainya, warga mengutus 2 orang untuk melakukan dialog. Namun, belum sempat dimulai dialog, polisi tiba-tiba menembak ke arah mobil orang-orang Colol dan menembus kaki kanan Siprianus Ranus. Tembakan polisi yang menimbulkan kepanikan luar biasa itu membuat orang-orang Colol berlarian mencari tempat berlindung. Namun, aparat polisi terus mengejar dan menembaki warga secara membabibuta sampai memakan korban 5 orang tewas di tempat, 1 orang tewas di rumah sakit, dan 28 orang korban luka. Para korban dan warga yang ada dalam peristiwa “Rabu Berdarah” itu mengalami trauma psikologis dan banyak pula yang cacat seumur hidup akibat luka yang diderita. Sudah bertambah lima dari 28 orang yang cacat oleh karena Rabu Berdarah itu meninggal hingga tahun 2017. Masyarakat Adat Colol kemudian mencari keadilan atas peristiwa berdarah itu kepada KOMNAS HAM sejak tanggal 17 Maret 2004.
Setelah 9 tahun berlalu, pada tahun 2012 tepatnya tanggal 16 Oktober, Kepala BKSDA NTT Ir. Wiratno bersama Staf Kabid KSDA Wilayah II Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng mengadakan pertemuan dengan Masyarakat Adat Colol di Pastoran Paroki St. Petrus Colol yang juga dihadiri pemerintah kecamatan dan lsm. Pertemuan yang mencoba membangun komunikasi kembali antara BKSDA NTT dan masyarakat Adat Colol dalam konteks mewujudkan upaya pelestarian dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan TWA Ruteng. Terjadi kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat untuk mengakomodir tujuan bersama itu (lihat lampiran). Masyarakat Adat Colol kemudian mengadakan Lonto Leok (Sidang Adat) yang dihadiri wakil dari 3 pihak (Telu Siri) yaitu para tokoh adat, pemerintah, dan gereja yang diadakan di Gendang Colol pada tanggal 12 Desember 2012. Lonto Leok Telu Siri itu menghasilkan kesepakatan yang intisarinya yaitu: 1. Pengamanan kawasan hutan di TWA Ruteng yang menjamin pada konservasi lingkungan dan penghidupan masyarakat yang saling percaya, menghormati, dan menguntungkan, 2. Usulan penyelesaian sengketa atas tumpang tindih status lingko secara adat dan kawasan hutan Negara, dan 3. Pemetaan partisipatif oleh pihak dalam 3 pilar (lihat lampiran). Sepuluh butir isi dari “Kesepakatan Bersama Tiga Pilar” itu terasa seperti nafas segar bagi Masyarakat Adat Colol. Perjuangan lanjutan Masyarakat Adat Colol dalam proses legislasi berhasil memperoleh Peraturan Daerah No.1 tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manggarai Timur. Namun, perjuangan belumlah berakhir, kelegaan untuk menjamin kehidupan dan adat itu haruslah menjadi masa depan Masyarakat Adat Colol. Perjuangan yang ditempuh adalah untuk memperoleh pengakuan hukum berbentuk Peraturan Bupati yang mengatur keberadaan Masyarakat Hukum Adat Colol dan hak adat di empat Gendang yang memiliki Pong dan Lingko sebagai sebuah kesatuan dari gagasan luhur “Gendang One Lingko Peang”.
|