Desa Adat Mujaning Tembeling terdiri dari tiga banjar adat, yaitu: Banjar Saren, Banjar Dehan dan Banjar Pangkung Anyar. Ketiga banjar ini masing-masing memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Secara umum nama Mujaning Tembeling berasal dari kata Mujanan, yaitu nama Pura yang terkait dengan kisah di Banjar Adat Saren. Sedangkan kata Tembeling berasal dari nama sumber mata air yang terletak didalam hutan.
Sejarah Banjar Saren termuat dalam Kutipan Prasasti Buncing Saren Pejeng. Dalam Prasasti tersebut tersirat batas-batas wewidangan meliputi: sebelah timur (utara kompas) adalah Pengalusan, batas utara (barat laut kompas) adalah Limo Bali, batas barat (barat daya kompas) adalah Tembeling, dan batas selatan (Timur kompas) adalah Gunung Dalwang yang sekarang bernama Gunung Sekar. Wewidangan ini merupakan pemberian dari Raja Dalem Klungkung karena jasa dari leluhur mereka (Ida Gede Maos) dalam mengajarkan agama dan kebaikan.
Selain sejarah yang termuat dalam prasasti, ada juga sejarah yang diyakini warga Saren secara turun temurun. Diceritakan dahulu ada masyarakat menggarap lahan pertanian. Seperti petani pada umumnya selain mengolah lahan pertanian mereka juga menggembalakan sapi. Suatu sore, sapi milik salah satu warga belum kembali dari tempat penggembalaan hingga sore hari. Keesokan harinya pemilik sapi mengikuti kemana sapi tersebut pergi. Warga Saren yang tidak diketahui namanya tersebut berjalan menuju belantara hutan yang sangat lebat. Didalam hutan ditemukanlah “Kelebutan” (mata air yang muncul dari permukaan tanah) di kawasa Mujanan. Sehingga para pengelisir atau orang tua disana membuatkan Pura yang diberi nama Pura Pemujanan. Pemujanan berasal dari kata Puja yang artinya tempat memuja. Karena peruntukannya untuk memuliakan sumber air, maka Pura Pemujanan disebut sebagai tempat untuk memuja tirta yang sampai saat ini kawasan itu merupakan tempat yang disucikan dan disakralkan.
Selang beberapa waktu kemudian, ada warga yang dari luar Banjar Adat Saren mencuci benang merah di lokasi mata air Pura Pemujanan yang menyebabkan hilangnya mata air itu. Dengan kejadian itu membuat warga Saren kebingungan dan mulai mencari dimana keberadaan sumber air itu. Suatu Ketika ada seorang perempuan yang mendalami spiritual tinggi mendapat sabda lewat mimpi (pewisik). Untuk mencari air yang hilang itu harus warga Saren yang sedang hamil. Ada Perempuan yang sedang hamil kala itu berjalan kearah barat dan ditemukanlah air tersebut di Pancuhan yang terletak di bawah tebing. Sumber air di Pancuhan ini tidak saja dimanfaatkan oleh warga Saren, tetapi juga dimanfaatkan oleh warga yang berada di Klungkung. Dahulu tidak ada larangan dalam pemanfaatan sumber air, semua orang yang memerlukan air bisa untuk mengaksesnya. Sehingga sebagai rasa bakti mereka yang memanfaatkan sumber air tersebut bersepakat untuk mendirikan Pura (tempat persembahyangan) yang disebut dengan Pura Hyang Pancuhan. Pancuhan artinya pancoran. Air yang keluar dari celah tebing-tebing. Lama kelamaan penyebutan pancoran menjadi pancuhan. Orang-orang yang merawat Pura dan yang memanfaatkan sumber air inilah yang disebut dengan pengempon. Karena sekarang sudah banyak masyarakat yang tidak memanfaatkan sumber air tersebut, sehingga mereka tidak lagi mengempon pura itu. Yang masih mengempon Pura saat ini adalah mereka yang masih memanfaatkan sumber air yang ada. Selain itu juga karena mereka memiliki keterikatan yang kuat serta tanggung jawab secara moral kepada leluhur. Karena yang menemukan sumber mata air yang sempat hilang tersebut adalah perempuan yang sedang hamil, maka kawasan sumber mata air itu sampai sekarang disebut dengan Tembeling. Dimana “Beling” dalam Bahasa Bali artinya hamil.
Satuan wilayah adat Saren merupakan banjar adat dengan struktur kelembagaan terdiri dari: kelian, juru raksa, penyarikan dan juru arah. Setelah Indonesia merdeka perubahan tatanan kelembagaan adat terjadi terlebih setelah terbentuknya Desa. Banjar Adat Saren berada di wilayah Desa Dinas Batumadeg. Pemimpin atau Kepala Desa pertama disebut dengan Perbekel. Desa Batumadeg terdiri dari 6 Dusun yang secara struktur kelembagaannya berbeda dengan banjar adat. Pembagian peran yang terjadi, untuk banjar adat lebih mengurus terkait dengan ritual adat dan peribadahan, sedangkan Desa Dinas menyangkut urusan administrasi.
Pada tahun 2003 terbentuklah Desa Adat Mujaning Tembeling. Seperti Desa Adat umumnya di Bali, Desa adat ini dibentuk berlandasakan konsep dan nilai filosofis Agama Hindu yang sifatnya sosial keagaman dan sosial kemasyarakatan. Fungsi dibentuknya Desa Adat ini untuk membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adat, memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keadatan dan keagamaan, membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali khususnya, menjaga, memelihara, dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat.
Telah disebut sebelumnya bahwa Desa Adat Mujaning Tembeling ini terdiri dari tiga Banjar adat yaitu: Banjar Adat Saren, Banjar Adat Dehan, dan Banjar Adat Pangkung Anyar. Ketiga banjar ini bisa membentuk Desa adat karena sudah memiliki unsur pokok Desa Adat yang terdiri atas: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan yang merupakan perwujudan dari filosofis Tri Hita Karana. Parahyangan yang dimaksud merupakan hubungan harmonis antara krama Desa Adat dengan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam ikatan Kahyangan Desa atau Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem). Pawongan merupakan system sosial kemasyarakatan yang harmonis antara Krama di wewidangan desa adat. Sedangkan Palemahan merupakan system hubungan yang harmonis antara krama dengan lingkungan di wewidangan desa adat.
Masyarakat yang tinggal diketiga banjar adat tersebut tidak memiliki hubungan kekerabatan. Warga Saren merupakan soroh atau klan yang bernama Warih Brahmana Buncing Pejeng dengan kastanya bernama Brahmana Keninten. Warga masyarakat yang tinggal di Banjar Adat Pangkung Anyar sebelumnya berasal dari Banjar Pangkung Gede yang merupakan Soroh Dalem Yukut. Sedangkan warga masyarakat yang berada di Banjar Adat Dehan berasal dari Tusan Klungkung yang merupakan Soroh Pasek Pande. Tidak diketahui secara pasti tahun berapa mulai menetap di Saren. Batas yang digunakan dari dahulu sampai sekarang tidak ada perubahan, mengacu pada isi dari Kutipan Prasasti Buncing Saren Pejeng (Sejarah Banjar Adat Saren). Artinya batas tersebut sudah meliputi wilayah Dehan dan Pangkung anyar. Bisa dikatakan bahwa induk dari Desa Adat Mujaning Tembeling ini adalah Banjar Adat Saren.
Sebelum membentuk desa adat, satuan wilayah ketiga tempat ini berupa banjar adat dengan struktur kelembagaan sama dengan Banjar Adat saren, yaitu terdiri dari: kelian, juru raksa, penyarikan dan juru arah. Masing- masing banjar adat ini mempunyai kelembagaan. Ketika tiga wilayah ini sudah bergabung berarti ada struktur besarnya yang perangkatnya diambil dari masing-masing banjar adat. Dengan adanya Undang-Undang desa, ada tugas dan fungsi kelembagaan menjadi bertambah. Mulai dari pengurusan anggaran lebih terinci dalam penggunaan anggaran. Anggaran yang dikelola oleh desa adat bersumber dari anggaran provinsi yang langsung ke desa adat.
Tidak ada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada waktu zaman penjajahan Belanda. Tetapi saat penjajahan Jepang terjadi satu peristiwa penculikan tokoh adat yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya dan komunitas juga mengalami kerja paksa. Pada masa kedua penjajahan tersebut tidak ada perlawanan fisik yang terjadi.
Kehidupan masyarakat dengan cara bercocok tanam dan juga beternak dalam skala rumah tangga. Bercocok tanam biasanya dilakukan pada sasih kapat atau bulan oktober, tetapi saat ini kondisi cuaca sudah mulai adanya perubahan sehingga jadwal bercocok tanam juga mengalami perubahan. Tidak ada perubahan cara bercocok tanam yang dilakukan, hanya saja ada pengurangan dari segi penggarap itu sendiri. Kalau dulu semua orang menjadi petani saat ini jumlahnya lebih sedikit. Ini dikarenakan adanya perubahan mata pencaharian yang semula hanya di bidang pertanian saat ini berkembang ke pariwisata. Selain itu ada juga yang memilih untuk menjadi pegawai, berwiraswasta, dan merantau ke luar Desa.
Perkembangan sarana dan prasarana yang ada; Sekolah Dasar SD 2 Batumadeg sudah ada Ketika zaman Pemerintahan Presiden Soeharto. Sebelumnya masyarakat bersekolah ke luar desa terdekat. Awalnya sumber penerangan yang digunakan oleh warga masyarakat Mujaning Tembeling berupa Lampu templek minyak tanah atau petromak. Pada tahun 1997/1998 mulai ada program listrik masuk desa. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat memanfaatkan air yang berasal dari mata air yang ada di Hutan Tembeling. Pada tahun 2006 sarana PDAM Air Guyangan sudah mulai masuk tetapi baru aktif beroperasi pada tahun 2015. Untuk pembangunan sarana dan prasarana sumber pembiayaan melalui Desa Dinas sedangkan Anggaran Desa Adat digunakan untuk kegiatan yang berkaitan dengan “Parahyangan” (Ritual Adat), Badan Usaha Desa Adat, dan Lembaga Perkreditan Desa.
Pada Tahun 2014 kegiatan Pariwisata dibuka secara besar-besaran seiring dengan adanya Taman Festival Nusa Penida. Festival ini merupakan salah satu Program Kerja Bupati Klungkung untuk pengembangan pariwisata di Nusa Penida. Sejak itu Nusa Penida merupakan salah satu destinasi pariwisata di Bali yang banyak dikunjungi wisatawan.
Tidak ada konflik terkait dengan tenurial yang ada, baik dengan komunitas yang berbatasan, pihak pemerintah ataupun konsesi. Krama adat saat ini ingin mempertegas status Kawasan yang ada di Hutan Tembeling. Karena selama ini belum ada kepastian yang jelas. Masyarakat beranggapan bahwa Hutan Tembeling masuk dalam kawasan hutan lindung pemerintah, sehingga saat ini Pengempon Pura Hyang Pancuhan yang memiliki hak terhadap pengelolaan hutan tersebut belum bisa mengelola secara maksimal. Setelah mendapat kejelasan melalui KPH Bali Timur selaku perpanjangan tangan dari KLHK mengatakan bahwa Hutan Tembeling tidak termasuk dalam Kawasan KLHK baik dari fungsi Lindung maupun fungsi lainnya. Untuk itu ada inisiatif dari Bendesa Adat Mujaning Tembeling untuk mengajukan Hutan Tembeling sebagai hutan adat sehingga asset-aset yang ada terlindungi. Untuk Pura Puser Saab, sudah mendapatkan seritifat Tanah Pelaba Pura, namun upaya perlindungan terutama dalam kawasan hutan akan terus ditingkatkan.
|