Pada umumnya masyarakat Adat To Cerekeng tidak mau tahu menahu tentang apa makna dan asal usul masyarakat Cerekeng. Karena mereka memiliki keyakinan leluhur mereka ada dan menetap di wilayah cerekeng hingga hari ini mereka masih mendiami wilayah tersebut dan sejak awal memang telah bernama Cerekang.
Kata Cerekang berasal dari kata cerre yang berarti di tuangkan. Dimana ketika diturunkannya Latonge’ Langi’ yang bergelar Batara Guru ke ponseweni untuk menjadi manusia pertama dan sekaligus Raja pertama alekawa yaitu Luwu dengan pusat kerajaan di ware’ dengan syarat bahwa ia harus mengambil sebagai permaisuri puteri tertua “benua bawah”(Toddang Toja) La Matimmang Guru ri Selleng. Turunan merekalah yang akan menjadi penguasa benua tengah (alekawa; Luwu). Setelah Latonge’ Langi’ diturunkan ke Alekawa dalam bambu gading yang besar dan tiba di Ussu diantar inang pengasuh dan selirnya beserta pengikutnya, maka mulailah alekawa ditata sehingga terciptalah gunung padang, sungai dan hutan. Proses penurunan ini bagaikan air yang di tuangkan ke bumi sehingga terciptalah tanaman, hewan gunung, padang sungai, dan danau.
Masyarakat To Cerekang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari Batara Guru. Batara Guru menjadi pemimpin yang menjamin keseimbangan duniawi dan pengabdian kepada alam dan Sang Penguasa Alam. Ajaran Batara Guru yang masih dipelihara oleh To Cerekeng adalah prinsip-prinsip kedamaian antar sesama manusia dan alam untuk menghindari kekacauan, seperti cara bercocok tanam tanpa merusak alam, memakan daging binatang dan ikan tanpa membuat hewan binasa dan tanpa membuat air sungai keruh.
Batara Guru adalah manusia pertama yang diturunkan dari langit (dalam bahasa lokal disebut Botting Langi’) di sebuah wilayah yang dinamai Pengsimoni. Wilayah itu menjadi tanah pertama turunnya manusia.
Ponsewoni/Pengsimoni hingga sekarang sangat dijaga, disakralkan, dikeramatkan, dan dijadikan tempat pelaksanaan ritual ade’ bagi To Cerekang. Selain ponsewoni ada 18 lokasi lain yang memiliki keterkaitan kuat dengan Sang Pencipta, alam dan masyarakat To Cerekang sendiri, yaitu: Ponsewoni/ Pengsimoni, Ujung Tana, Padang Annuenge, Tomba, Kasosoe, Aggattungeng Ance’e, Berue’, Mangkulili, Lengkong, Turungeng Appancangengnge’, dan Wae Mami.
To Cerekeng meyakini bahwa To Manurung dan Sawerigading bermukim di kampung tua Berue’ (disebut sebagai ‘tanah larangan’) tepatnya di sepanjang tepi timur Sungai Cerekeng. Berue’ membatasi Laoru, sebuah daerah hutan keramat yang meliputi Ennunge.
Kampung tua lainnya yaitu Katiue di pinggir sungai cerekeng; Mangkulili di sekitar Bulu Mangkulili; dan Cappa Kampong yang berada di pinggir sungai Ussu adalah tempat To Cerekeng bermukim sebelum pindah ke jalan raya (sekarang poros Palopo-Malili) pada tahun 1930.
Dalam tradisi lisan tentang Cerekang dan Ussu sebagai pusat besi bagi industri keris Jawa pada era Majapahit pada sekitar Abad XIV M. dalam tradisi jawa dikenal keras “pamor Luwu”. Keris yang dimaksud ialah senjata yang memiki besi pamor berasal dari Luwu, sebagai keris terbaik. Sumber besi luwu yang diekspor melalui Ussu dan Cerekang sangat mungkin berasal dari perbukitan sebelah utara, di tepi Danau Matano yang banyak mengandung nikel.
Dari penuturan To Cerekeng, bahwa dulu wilayah To Cerekeng meliputi sebagian Tampinna, Manurung, Atue sampai Ussu. Namun, jika dilihat secara ikatan spritual yang dihubungkan dengan 19 lokasi penting, wilayah adat To Cerekang mencakup 3 wilayah administrasi desa di Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur, yaitu Manurung, Atue, dan Ussu. Pusat aktivitas Cerekeng saat ini berada di Dusun Cerekeng, Desa Manurung yang terletak di sekitar Sungai Cerekeng.
Sesuai penuturan dari masyarakat Cerekeng pada masa penjajahan Belanda masyarakat Cerekeng juga ikut berjuang bersama Datu Luwu. |