Suku Rejang berasal dari semenajung vietanam / Yunan, Cina selatan, sekitar 1.200 tahun yang lalu melalui Kalimantan mereka pindah ke Sumatera, mereka berlayar menuju Serawak dan sebagian menetap di sana. Sebagian lagi belayar melalui Pulau Bangka menduduki Sugai Musi menuju Sungai Rawas hingga ke daerah paling hulu, kemudian memudiki Sungai Rawas melalui Gunung Hulu Tapus sehingga menetap disana. Yang memudiki Hulu Sungai Musi menetap di wilayah Dusun Sawah dan Air Lang (Hulu Sungai Temau), mereka menetap di wilayah Air Lanang kira-kira abad ke-1 sampai abad ke-5 masehi. Zaman tembikar dari tanah liat yang banyak terdapat di Desa Air Lanang hulu Sungai Lemau mereka menetap disana cikal-bakal kerajaan Sungai Lemau. Jadi Kerajaan Sungai Lemau mewakili suku bangsa Rejang dengan raja pertama kerajaan Sungai Lemau Maha Raja asli tunjang Kutei / Desa Air Lanang. Terdapat bukti peninggalan zaman batu dan tembikar dari tanah liat bekas Kutei zaman dahulu.
Penduduk rejang bermani menerima pengaruh peradaban Hindu Buddha dari India pada abad ke-4 – abad ke-5 masehi. Buni dan peti mati yaitu kebudayaan tembikar atau guci dari tanah liat berkmbang di Rejang Bermani / Kutei Air Lanang banyak ditemukan kuburan dari guci tanah liat.
Asal usul kerajaan Rejang Sungai Lemau berasal dari keturunan Kutei Air Lanang. Kutei Air Lanang bermani hulu Sungai Lemau di Bukit Mulang abad ke-5-7 masehi. Mereka turun ke pesisir menyusuri Sungai Lemau menuju sampai ke barat, ke muara Sungai Lemau yang sekarang bernama Kecamatan Pondok Kelapa.Kerajaan Sungai Lemau itulah yang mewakili suku Bangsa Rejang, karena banyak peninggalan dari zaman batu, peninggalan tembikar dari tanah liat, kerbau batu, orang kerja sedang menggesek kayu semua terbuat dari batu yang terdapat dari Bukit Mulang sampai Bukit Kerbau. Sejak zaman batu sampai dengan abad ke-5 masehi telah ada perkampungan di wilayah Air Lanang.
Baginda Maha Raja Sakti menjadi Raja Ulu Bengkulu dan petulainya diberi nama Samitua atau Samitul yang dalam bahasa melayu artinya guruh. Nama Semi tua diberikan karena sewaktu penobatan baginda Maha Raja Sakti berbunyilah guruh. Sebagai tempat kedudukan kerajaan, raja memilih wilkayah di muara Sungai Lemau, berdekatan dengan Dusun Pondok Kelapa yang sekarang, bukan Muara Sungai Bengkulu. Adapun barang-barang pusaka yang beliau tinggalkan untuk anak keturunannya (jurai) terdiri dari dua pucuk meriam kecil bernama Si Corang dan si Curik, sebilah pedang bernama Jabatan, sebuah tembak, kesemuanya tersimpan di musium di Bengkulu.
Pada tanggal 1 Juli 1695, Gubernur Inggris Charles Bort Well 1695-1696 mengundang Raja Sungai Lemau, pada waktu Raja Sungai Lemau diterima dengan penuh kebesaran (Barcsad kehormatan pukulan tambur dan letupan meriam). Dan diadakan pula jamuan makan dengan memotong dua ekor kambing.
Pada tahun 1710 sehubungan dengan besarnya gelombang di Muara Sungai Lemau, dan tempat itu penuh rawa-rawa selain itu juga kurang strategis, Inggris memindahkan kantor dagangnya ke Ujung Karang (tahun 1714) di bawah pemerintahan wakil Gubernur Joseph Collet (1712-1716) di Ujung Karang dididirikan satu benteng yang kuat dan kokoh yang terkenal dan nama benteng tersebut adalah Benteng Forth Mariboro, sisa benteng tersebut hingga saat ini masih dapat di Kota Bengkulu.
Kerajaan Sungai Lemau ini mewakili Suku Bangsa Rejang. Ketika John Marsden menjadi Residen Inggris di Lais (1775-1779), ia pernah bertemu dengan Pangeran Sungai Lemau yang bernama Pangeran Mohammad Syah’i. Marsden menganggap Pangeran Mohammad Syah’i sebagai seorang muslim yang sangat berbedadan penuh dengan sopan santun. Jhon Marsden juga menggambarkan keadaan Suku Bangsa Rejang pada zaman itu sebagai berikut:
“The Rejang are distinauishedinto tribes (Rejang Ulu Sungai Lemau). The Deswend ants of different pooyang or ancestor of the ade four principal tribes. Bermanie your call sloopu and too bye side to derive their origint from four brothers, and to hart been from time immorial in a langue og finst and devensife...There and sereal inferior trebes.”
Pada tahun 1770 Inggris membentuk suatu dewan Pangeran di Bengkulu, dengan nama “Pangeran Cours” sebagai wadah banding terhadap keputusan-keputusan dalam perkara yang di alami oleh kepala-kepala dusun.
Raja Kerajaan Sungai Lemau, Pangeran Linggam Alam, (klan orang Lanang Poyang Linggar Alam) duduk dalam dewan pengadilan, pada tanggal 22 maret 1818 dewan kapal Inggris, “The Lady Raffles” sampai di kota Bengkulu. Raffles dan istrinya Sophia Hull yang kemudian menjalankan pemerintahan Inggris di Bengkulu sebagai Gubernur.
Dalam perjalanan ekspedisi ke Timur, Raffles ke Air Lanang (Air Land) di daerah Bukit Mulang dan sekitarnya (tahun 1818) yang disertai istrinya dan jiuga Dr. Arnold, pada tahun 1818 dalam perjanjian tanggal 7 Juli 1818 Letnan Gubernur Inggris, Raffles meresmikan peleburan Kerajaan Sungai Lemau dengan Raja diserahkan oleh Pangeran Linggam Alam. Pada waktu penyerahan pemerintahan jajahan Inggris atas daerah Bengkulu kepada Pemerintahan Jajahan Belanda pada tanggal 17 Maret 1825, berdasarkan traktad London bertanggal 17 Maret 1884.
Maha Raja Sakti dalam Bahasa Rejang pernah bersumpah dan minum air ditulung keris tidak akan menganiaya satu sama lain dengan disertai ucapan sumpah seperti berikut, “Barang siapa munakir dimakan kutuk bisu kawi di bawah tidak berakar, di atas tidak berpucuk, kedarat tidak boleh dimakan, ke air tidak boleh diminum.”
Zaman Belanda-Inggris
P. Wink Kontrolis Lais (1924-1929) dalam memorinya mengenai “Het Vroet Pangeran Bestoor Van” Sungai Lemau bahwa penetapan Baginda Maharaja Sakti di Sungai Lemau dapat dianggap baru pada awal abad ke-17.
Anak Baginda Maharaja Sakti adalah Baginda Sebayam yang memakai gelar Tudu Pati Banaun Negara. Pada tahun 1668 masehi (1079 H) Tuan Pati Bangun bersama-sama dengan Depati Bangso Radin dari Kerajaan Si Lebar (Bengkulu), pergi ke Banten untuk menyatakan bahwa kerajaan mereka mau bekerjasama dengan kerajaan Banten pada masa zaman Sultan Dgena Tirtayasa (1651-1685).
Tuan Pati Bangun Negara, Raja Kerajaan Sungai Lamau mendapatkan gelar Pangeran Raja Muda, dan mendapatkan piagaram dari Letnan Gubernur Jendreral Inggris, SIR TH ST. Raffles pada tahun 1824 di Bana dan di Hilana.
Menurut Banyamin Bloomt (Inggris), penduduk Kerajaan Lemau Pangeran Raja Muda (1685) telah menganut agama Islam. Karena pada waktu mereka datang bertepatan dengan Bulan Puasa Ramdhan. Penduduk sedang berpuasa, selain itu, jika bersumpah penduduk juga menggunakan Kitab Suci Al-qur’an.
Berkata Benyamin Bloomt dalam suratnya, “We coming just about the time of their Ramadhan or time of fasting. He must the fort as the had dont swear upon the al-qur’an to be truth and fartful to the honourable Company.”
Tiga bulan sesudah pedagang Inggris menetap di Sungai Lemau, perdagangan beretambah maju dan ramai. Dalam waktu singkat telah banyak rumah dan toko didirikan di sekitar Fort York. Ini berdasarkan catatan pada tahun 1712.
Pada tanggal 5 Juli 1660, pedagang Belanda di bawah pimpinan Komisaris Bolthasar Bort mengadakan perjanjian dagang dengan Raja Selebar, disusul dengan pendirian benteng Belanda di Kandang sampai sekarang masih dapat dilihat sisa-sisa benteng tersebut, yaitu dua pucuk meriam VOC, bertanggal 11 Agustus 1915.
Pangreran dari Sungai Lemau mengangap diri mereka merdeka penuh pada tahun 1695. Kemudian Inggris mengadakan perjanjian dengan Raja Sungai Lemau. Intisari dari perjanjian tersebut adalah monopoli hasil-hasil alam dan rempah-rempah kepada pedagang Inggris.
Pangeran dari Sungai Lemau mengaku sebagai Kepala Suku Bangsa Rejang. Kerajaan Sungai Lemau yang berada di bawah Pangeran Linggam Alam dan wilayahnya adalah Lais, Keretapati, Air Besi, Air Padang, Padang Betua, Sungai Lemau Ulu (Air Lanang, Tanjung Alam, Pungguk Lalang, Curup Selatan).
Setelah Pangeran Linggam Alam meninggal dunia pada bulan Juli 1833, beliau digantikan oleh anaknya yang tertua yang bernama Pati Negara (Pati Pudu/Pudau), dengan keputusan pemerintah jajahan Belanda tertanggal 3 Agustus 1836, No. 5. Pati Negara diberi gelar Pangeran Mohammad Syah II.
Raja Pati Negara / Pati Pudu balik ke tanah asalnya, Kutei Air Lanang/ Lanang Nian. Wilayah Bukit Mulang, Bukit Kerbau dan sekitarnya. Raja kembali ke tanah leluhurnya sampai akhirnya meninggal dunia dan dikuburkan di Air Lanang. Inilah asal-usul Kutei Air Lanang sekarang. Bukit Mulang artinya kembali ke tanah asal nenek moyang. Inggris menamai Kutei Air Lanang dengan sebutan Air Land (Negeri di atas awan), karena wilayah Kutei Air Lanang yang sering ditutupi kabut.
Pada tahun 1861-1865 asisten Reseiden Belanda J. Willand di pindahkan dari Palembang ke Bengkulu. J. Willand menggantikan Regent/Kecamatan tersebut dengan marga-marga, seperti yang dijumpainya di keresidenan Palembang.
Beliau menetapkan suatu undang-undang sumber daya untuk semua pengadilan asli di Keresidenan Bengkulu. Semua tindakan J. Walland tersebut sebenarnya bertentangan dengan kehendak masyarakat Suku Rejang, karena mereka mempunyai hukum adat sendiri.
Adapun pengadilan Adat Suku Rejang Bermani:
1. Rapat Dusun/Kutei yang diketuai oleh Kepala Dusun
2. Rapat Magra diketuai oleh Kepala Marga
3. Rapat Kecil
4. Rapat Besar
Dalam prakteknya di zaman kemerdekaan Republik Indonesia, ialah rapat Dusun Kutei. Pengapusan pengadilan adat tidak berarti penghapusan hukum adat Suku Rejang. Hukum Adat Rejang tetap diakui, karena telah diatur oleh undang-undang No. 14 tahun 1970.
Dengan demikian timbullah satu masyarakat hukum adat yang disebut dengan istilah Tuai Kutei. Kutei berasal dari Bahasa Hindu, yang apabila diterjemahkan kedalam Bahasa Melayu memiliki arti Dusun Yang Berdiri Sendiri (Otonom).
|