Masyarakat hukum adat Kemtuik dalam sejarah kehidupan sosial memiliki hubungan asal usul yang sama dengan kelompok komunitas adat Klesi, Nambluong, Moi dan beberapa kelompok lain yang ada di daerah pesisir pantai tanah merah, mulai dari Yokari sampai Ormu (Imbhi Numbay). Secara historis, kelompok-kelompok suku ini masih saling mengakui, bahwa mereka berasal dari satu tempat asal dengan nenek moyang sama. Dalam cerita peradaban kelompok-kelompok suku ini tergambar bahwa masa antara pra sejarah dan sejarah nenek moyang mereka pernah hidup di wilayah adat Klesi, kampung Yansu dan sekitarnya.
Masa itu dikatakan manusia sedang berevolusi, belum sempurna masih setengah binatang karena hubungan antara manusia dengan hewan belum ada garis pemisah seperti saat ini karena masih bisa berkomunikasi dengan alam (tumbuhan dan hewan). Hal ini bisa dilihat dari adanya mitos-mitos yang simbol-simbol ketokohannya selalu dihubungkan dengan hewan maupun tumbuhan. Ketika manusia mulai sempurna mereka berpikir untuk membangun satu pranata sosial yang berbeda dengan hewan atau tumbuhan, memiliki kepemimpinan sendiri sebab ketika itu masih didominsi oleh hewan, seperti ular naga dan lain-lain simbol ketokohan.
Ada tiga diagendakan besar yang direncanakan untuk dibicarakan dalam satu acara adat (pesta adat), yaitu pertama pemilihan peimimpin, kedua membagi harta kekayaan milik bersama dan tiga kemungkinan akan membagi wilayah sebaran seperti suku-suku yang ada saat ini. Untuk penyelenggaraan acara ini semua persiapan sudah rampung, para tamu dan undangan dari daerah sekitar sudah hadir satu hari menjelang pelaksanaan. Sementara kelompok binatang rupanya tidak diundang, ular naga yang memposisikan diri sebagai raja merasa kesal dan iri dengan semua rencana ini diam-diam mengorganisir kelompok binatang maupun manusia lain yang tidak diundang untuk mengacaukan acara ini.
Tepat pada hari menjelang pelaksanaan pesta, para undangan dan pengunjung yang sedang larut dalam acara-acara awal sebagai penyambutan dalam bentuk dansa (tarian) menjelang pembukaan pada keesokan harinya. Tiba-tiba ular naga dengan kelompok musuh lainnya masuk mengacaukan, terjadi perkelahian, pem bunuhan, pemerkoasaan, penjarahan dan lain-lain. Diakui bahwa dalam peristiwa ini banyak orang yang mati terbunuh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam kondisi demikian masing-masing orang lari menyelamatkan diri.
Dalam kondisi mencekam seperti demikian dikatakan sempat ada orang yang membawa serta bagian harta yang rencananya akan dibagi setelah pemilihan pemimpin, benda-benda sebagai harta karun yang dibawa kemudian dibuktikan sebagai harta bawaan dari tempat dimana mereka membubarkan diri dalam situasi itu.
Kelompok suku Imbhi Numbai (Ormu), mereka mengatakan membawa kampak batu sebagai harta bawaan dari Yansu sebagai tempat asal dan mampu membuat kembali kampak-kampak batu yang lain karena tempat yang diami memiliki bahan baku (batu-batu hitam) yang sama untuk membuatnya. Kelompok lain di pesisir tanah merah ada yang mengaku membawa tifa sebagai harta bawaan dari tempat yang sama, demikian juga kelompok lain yang memiliki cerita yang selalu dikaitkan dengan tempat maupun kejadian-kejadin yang pernah terjadi di wilayah Yansu dan sekitarnya di wilayah masyarakat adat Klesi saat ini.
Bukti-bukti lain yang memiliki indikasi kuat untuk mengelompokan mereka sebagai bagian yang berasal dari satu asal usul yang sama adalah memiliki kemiripan dari aspek ciri-ciri fisik, karakter, ragam bahasa untuk menunjukan beberapa maksud dalam kata benda, kata kerja mupun kata sifat. Memiliki kesamaan dalam tatanan nilai dan sistim sosial budaya, seperti bentuk struktur kelembagaan adat, penamaan istilah dalam struktur, sistim politik, ekonomi, maupun sosial budaya serta kepecayaan. Tuhan dimanifestasikan dalam wujud dewa mata hari sebagai simbol terang, panas dan mematikan apabila tidak mengikuti rambu-rambu yang telah digariskan dalam bentuk norma dan hukum
Kalaupun memiliki kesamaan asal usul, sejarah membuktikan bahwa penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah, hutan dan berbagai sumber daya alam menjadi faktor pemisah diantara kelompok-kelompok ini. Saling pengakuan atas wilayah-wilayah hak persekutuan menjadi bagian penting untuk menyebut dirinya sebagai satu kelompok terpisah dengan kelompok laainnya. Apalagi pengausaan, pemilikan dan pemanfaatan atas tanah, hutan dan berbagai sumber daya alam telah berlangsung selama ribuan tahun secara turun-temurun.
Komunitas adat Kemtuik terbagi dalam sub-sub suku atau klen kecil menurut wilayah hak penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan atas tanah ulayat, hutan dan sumber daya alam. Ada empat sub kelompok suku dalam wilayah adat Kemtuik, masing-masing adalah: Kelompok Kwansu Mlab, kelompok Kleku, kelompok Damaiblo dan kelompok Mrem Yanim/Banu Kublo (kemtuik Pay). Keempat suku ini tergabung dalam 3 sub wilayah. Tiga Sub wilayah yang tergabung dan diakui dirinya sebagai orang kemtuik adalah Kwansu Mlab berada di wilayah bagian utara ke arah barat, Kleku di bagian utara ke arah timur, sub wilayah,Damaiblo yang saat ini sebagian kelompok menetap tinggal di bagian dari suku Elseng sedangan sub wilayah mrem Yanim atau Kemtuik Pay berada di bagian selatan.
Tiga sub wilayah ini masing-masing hidup menurut kepemilikan hak ulayat atas tanah dan pemanfaatan berbagai jenis potensi sumber daya alam yang suda diwariskan secara turun temurun dan sampai dengan hari ini pun mereka masih ada dan belum bergeser ke daerah lain.
Umumnya dipapua pengertian kampung masih belum paham karena pengertian kampung sendiri muncul ketika pemerintah mulai masuk dan mempersatukan kelompok atau marga-marga, hidup dalam pemukiman-pemukiman dengan tujuan memudahkan akses pelayanan.Dipastikan bahwa kelompok-kelompok ini sebelum ada kontak dengan orang luar terutama pemerintah Belanda,mereka masih hidup secara menyebar dilingkungan yang diwariskan oleh manusia lampau atau leluhur mereka.Setelah pemerintah belanda masuk baru menyatukan mereka hidup dalam pemukiman namun masih berada didalam wilayah hak masing-masing kelompok.Pengertian kampung ini muncul setelah terbitnya uud desa tahun 1974. Sub Wilayah Kwansu Mlab terdiri dari 4 kampung diantaranya: Kwansu, amonggrang, Nanbom dan Mamei. Sub Wilayah Kleku terdiri dari 4 kampung diantaranya: Mamda Samon, Sama, Mamda Yawang, dan Kundai. Sedangkan Sub Mrem Yanim terdiri dari 3 kampung yaitu: Mre Damoi, Yambra dan Braso. Dan Sub Wilayah Damaiblo terdiri dari 4 kampung yaitu: Aib, Soaib, Sabeyap Kecil, Sekori, Skoiam, dan Bengguin prongo. kampung-kampung marga. Sebelumnya kampung-kampung klen ini dipimpin oleh kepala-kepala klen atau marga yang disebut Trang Deuguena. Mereka bertanggungjawab untuk melindungi, mengatur, membagi ruang-ruang pemanfaatan serta mengendalikan jalannya keteraturan sosial di dalam hak persekutuan. Kepala-kepala pemerintahan asli dalam masing-masing sub wilayah dipimpin oleh marga-marga seperti Sub wilayah Kwansu Mlab yaitu marga Samon, Okowali, Dwa, Saamon, Waru, Bano, Sub wilayah Kleku dipimpin oleh marga-marga Kreku, Wasanggai, Wamebu sedangan sub wilayah Kemtuik Pay dipimpin oleh marga Waru, Sosikay, Sosrikon, Breiram, Yaram, Kwano, Bairam, Yaku, Waisima, Swodem, Kay, Wally, Yanggu, Yewi, Yawan, Yakusamon dan Yaru sedangan sub wilayah Damaiblo dimpin oleh marga-marga,Waring, Dantru, Nassa, Kiambe, Yaru.
Konflik yang sering terjadi di wilayah adat kemtuik dan penyebab terjadinya konflik yaitu ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya konflik, bentuk-bentuk konflik pun tentu berbeda.Ada dari masyarakat sendiri tapi juga datang dari luar.Konflik untuk orang kemtuik sendiri tidak nampak karena para pemimpin adat dari masing-masing kelompok mampu mengendalikan masyarakatnya.
Seiring dengan adanya proses perubahan sosial tentu berdampak luas.Para pemimpin adat terjerumus dalam berbagai aturan dan kebijakan pemerintah yang kemudian membuka ruang bagi ketokohan untuk memperoleh penghargaan,akomondir dalam uud menjadi penting namun di lain sisi bentuk penghargaan ini justru memberikan dampak buruk didalam tatanan sosial dan kehidupan berkelompok.Kalau dilihat dari sisi negatif, hal seperti ini merupakan upaya pelemahan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat. Kini para ketokohan menjadi tidak percaya lagi dari masyarakatnya dan menjadi rebutan,muncul pemimpin adat baru dan menjadi pasif dalam komunitas adat mereka dan lebih kepada kepentingan kelompok tertentu yang akan mempengaruh semua aspek kehidupan termasuk dalam sistim politik tradisional. |