Menurut sejarahnya komunitas Golo Lebo berasal dari letak sebuah gunung yang bernama Gunung Lebo. Dalam Bahasa lokalnya Golo artinya Gunung dan Lebo artinya Daun yang hijau dan tumbuh subur. Golo lebo terletak di Desa kajuwangi. Dimana ada 3 kampung atau wongko yang terdapat disana. Adapun nama-nama wongko tersebut adalah: wongko Mboeng, Wongko Bui dan Wongko Selek. Di Komunitas Golo Lebo Kajuwangi ini terdapat 6 suku yang datang secara bersamaan sehingga memiliki sejarah sampai menetap yang berbeda-beda. Keenam suku tersebut antara lain: Suku Naru, Suku Welu, Suku Mulu, Suku Ndari, Suku Longka, Suku Watu,
Suku Naru dan Suku Welu berasal dari bugis. Dari Bugis lalu berlayar ke Palue-Flores, bertempat tinggal di Marowuwur selama 2 bulan. Dari marowuwur kemudian berpindah ke tompong selama 3 tahun alasan perpindahannya untuk mencari tempat yang lebih tinggi. Dari tompong kedua Suku Naru dan Welu ini berpisah. Suku Naru berpindah ke Mbarunaru. Sedangkan Suku welu pindah ke Nanuwelu.
Suku Naru bertempat tinggal di Mbarunaru selama 3 tahun. Dari Mbarunaru, Suku Naru ini pindah lagi ke Rinu selama 3 tahun. Alasan pindahnya mencari tempat yang lebih tinggi. Dari Rinu mereka pindah ke Tireng yang berdekatan dengan Wongko Dolok selama 3 tahun dengan alasan yang sama mencari tempat yang tinggi. Kemudian dari Tireng berpindah lagi ke Muntek selama 3 tahun setelah dari Muntek berpindah lagi ke Naru sampai akhirnya memutuskan untuk menetap di Naru. Seiring perkembangan waktu, suku-suku Naru akhirnya berkembang sebagian menetap di Naru dan sebagian lagi pindah ke Mulu. Keturunan yang pindah ke Mulu akhirnya menjadi Suku Mulu yang sebenarnya merupakan keturunan dari Suku Naru.
Suku welu bertempat tinggal di Nanuwelu selama 3 tahun lalu mereka pindah ke selek (wongko Dolok). Alasan perpindahan ini karena mencari tempat yang lebih tinggi. Dari Wongko Dolok kemudian pindah ke Kolok selama 3 tahun karena mencari tempat yang lebih tinggi lagi. Dari Kolok kemudian pindah ke Kepo selama 3 tahun. Dari kepo kemudian turun menuju Wokat sampai akhirnya memutuskan untuk menetap di Wokat.
Selain kedua suku tersebut ada juga Suku Ndari dan Suku Longka. Kedua suku ini tidak mempunyai hubungan kekerabatan hanya datang secara bersamaan.
Kedatangan Suku Ndari awalnya mereka adik kakak yang awalnya tinggal di kampung Ngada. Mereka mempunyai masing-masing induk ayam yang sedang bertelur. Adiknya lalu merebus telur milik sang kakak dan menaruhnya kembali disadam sarang. Pada umur 21 hari telur ayam milik adik menetas sedangkan yang miliknya kakak tidak menetas. Kakak bertanya kepada adik mengapa telur yang dia punya tidak menetas. Lalu adik tertawa sambil memakan telur milik yang kakak yang sudah direbus. Karena merasa malu, lalu kakak tersebut lari ke kampung yang bernama Gumat di Kelurahan Lempong Paji. Setelah tinggal di Gumat lalu pindah lagi di dekat Kampung Panwatu yang bernama Kampung Nunang setelah sebelumnya mereka meminta tanah pada tuan tanah yang ada di Panwatu. Kondisi di Nunang sangat kekurangan air. Pada akhirnya ketika hendak pergi berburu anjing yang dibawa menggongong kearah mata air. Karena dekat dengan mata air lalu mereka sepakat untuk membuka kampung disana, yang mereka sebut kampung tersebut Ndari. Sehingga sampai saat ini di kampung Ndari ada mata air yang bernama Wae Wakok.
Suku Longka berasal dari Manggarai Barat. Lalu mereka pergi ke Reok Potak, dari Reok Potak lalu mereka ke Dakangkas dari Dakangkas berpindah ke Tewang Moreng dekat dengan Gunung Lebo. Dari Tewangmoreng menuju Warutirus dan akhirnya mereka menetap di Longka.
Sejarah suku watu, keturunan pertamanya bernama Obak dan Diwal. Obak tidak mempunyai istri dan anak. Sedangkan Diwal mempunyai istri dan mempunyai anak dua. Anak yang perempuan bernama Nau sedangkan anak yang laki-laki bernama Bantuk. Diwal merupakan seorang pemburu. Suatu pagi Diwal pergi ke rumah untuk berburu. Di rumah hanya ada istrinya. Kemudian Obak datang ke rumah Diwal ketika Diwal sedang tidak ada dirumah. Obak meminta tempat sirih kepada istri Diwal karena dia mau makan sirih. Ternyata yang dimaksud Obak itu bukanlah tempat sirih yang sebenarnya tetapi lebih pada ingin berhubungan badan. Akhirnya istri Diwal menjawab “ kalau tempat sirihnya dibawa oleh suaminya. Tetapi Obak masih tidak percaya obak langsung menelanjangi istri Diwal ternyata disana memang kosong. Karena kosong lalu diambilah kapak yang kemudian membelahnya. Sampai saat ini masih ada peninggalannya di Damu terdapat tanduk kerbau yang Panjang 1 depa lengan. Tanduk kerbau itu janji sumpah Diwal dengan Obak. Sesampainya dirumah Diwal bertanya siapa yang membelah tempat sirih itu. Kalau betul Obak tidak membelah maka leher kerbau itu akan dipotong satu kali langsung putus. Setelah janji sumpah itu mereka berpisah. Kemudian istri Diwal memberi kepada kedua anaknya tanah satu genggam. Sejauh mana pergi untuk mencari makan dan tempat tinggal maka berdoalah kepada barang ini. Sampai sekarang peninggalan tersebut masih ada tetapi sudah jadi batu.
Ketika mereka sampai diatas puncak itu kedua anak bersaudara itu (Nau dan Bantuk) menikah dan melahirkan 2 anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bernama Rinka dan Lebok. Akhirnya mereka tetap tinggal disana tanpa berpindah lagi di Kampung Lebo dengan suku bernama Suku Bantuk. Setelah sekian lama disana akhirnya memutuskan pindah lagi ke Panwatu. Pindahnya ke Panwatu karena jumlah penduduknya semakin padat dan juga kesulitan air. Dari panwatu kena musibah kebakaran akibat kebakaran kebun yang menghancurkan satu kampung akhirnya mereka pindah ke Baluk, dari Baluk barulah kemudian pindah ke Selek.
Ketika keenam suku tersebut masing-masing sudah menetap dan karena jumlah penduduknya juga sudah banyak. Maka mulailah mereka melakukan pembagian tanah yang dilakukan oleh nenek moyang pada tiap-tiap suku. Pembagian tanahnya dibagi dari lebo. Yang menjadi pemimpin atau yang menjadi gelarang bernama Ndalu yang berasal dari suku Ndari. Syarat untuk menjadi gelarang pada waktu harus orang yang mempunyai banyak kuda, kerbau, sapi serta orang yang rajin bekerja. Gelarang pada waktu itu dipilih oleh suku-suku yang lainnya.
Interaksi yang terjadi di komunitas setempat pada akhirnya terjadi kawin mawin dengan suku-suku yang ada. Hilangnya fungsi gelarang pada saat ini dimulai pada saat terbentuknya Desa Gaya baru sekitar tahun 1990. Sebelumnya Gelarang inilah yang menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan desa. Sehingga fungsi gelarang itu akhirnya hilang dan mereka melebur pada fungsi Gaen Wongko atau Dor. Peralihan ini terjadi pada saat Indonesia sudah merdeka.
Masuknya ajaran agama baru dibawa oleh Pastor dari Belanda yang pada saat itu diterima oleh Pastor Fransiskus Saverius dari Maumere. Respon masyarakat ketika ajaran agama baru itu masuk mereka menerima dengan baik. Kepercayaan memuja leluhur masih tetap dijalankan walaupun ajaran agama sudah masuk. Jadi antara agama dan ritual adat yang ada berjalan beriringan. Di Golo lebo tidak hanya beragama khatolik saja yang ada, tetapi islam juga sudah ada. Mereka memeluk agama tersebut sudah sejak dahulu. Dari mana suku-suku yang beragama islam itu juga tidak diketahui.
Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1973 - 1974 itu ada pemaksaan secara paksa pemindahan yang dilakukan oleh pemerintah dari kampung lama alasannya karena jauh dari jalan raya. Untuk bisa memaksimalkan pelayanan dalam urusan pemerintahan, kampung-kampung yang berada di hutan itu harus dipindahkan ke dekat jalan. Di Wongko Selek saat ini ditempati oleh Suku Naru, Suku Bantuk, Suku Ndari, dan Suku Longka. Sedangkan yang di Wongko Mboeng ditempati oleh Suku Ndari, Suku Mulu, dan Suku Welu. Sedangkan di Wongko Mbui ditempati oleh Suku Longka dan Suku Ndari.
Di Golo Lebo tidak terjadi konflik dengan TWA Ruteng tetapi konfliknya dengan hutan lindung. Konflik ini bermula pada tahun 1974 masyarakat dari Suku Longka dan Suku Ndari dipindahkan secara paksa oleh pemerintah yang dipindahkan ke Wongko Bui, Selek dan Mboeng. Setelah mereka pindah pada tahun 1995 pemerintah menjadikan kampung lama mereka sebagai hutan lindung. Sehingga pada tahu 1995, masyarakat yang berasal dari kampung lama itu tidak setuju dengan pemindahan PAL batas itu. Sampai saat ini masyarakat masih merasa memiliki dengan keberadaan kampung lama tersebut. Ada pelarangan oleh pemerintahan karena adanya pemasangan tonggak tapal batas. Sejauh ini belum sampai terjadi kontak fisik hanya sebatas pelarangan saja. Tetapi masyarakat pada waktu itu sempat adu mulut dengan petugas setempat. Masyarakat menuntut membuat kesepakatan menurut versi masyarakat, tetapi pada waktu pemasangan tonggak ikut versi pemerintah. Masyarakat pada waktu itu sudah bekerja membersihkan lahan untuk tebas pohon dan membersihkan rumput untuk pemasangan tonggak tetapi pada waktu pemasangan tonggak mengikuti arah jalan kebun versinya pemerintah bukan mengikuti versi masyarakat. Masyarakat saat ini sudah mengupayakan membuka jalan ke kampung lama, alasannya karena pemukiman semakin sempit sehingga mereka harus kembali ke kampung lama. Pernah dilakukan diskusi dengan pihak kehutanan pada waktu pertama kali kampung lama mereka diklaim menjadi hutan lindung. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat akibat dari diklaimnya kampung lama mereka menjadi hutan lindung itu lahan pertaniannya semakin sempit selain itu juga ada tempat-tempat keramat, tempat ritual, kuburan nenek moyang. Antara keinginan pemerintah dengan masyarakat sangat bertolak belakang. Masyarakat sampai menolak karena pada zaman penjajahan kolonial PAL itu berada di atas gunung golo lebo. Masyarakat menyepakati PAL itu sesuai dengan yang dipasang pada zaman Belanda. Tetapi pada tahun 1995 pemerintah memaksa agar hutan lindung tersebut masuk lebih kedalam lahan Garapan masyarakat. Saat ini banyak sawah yang berada di dalam hutan lindung sehingga masyarakat tidak bisa untuk menggarapnya kembali karena sudah menjadi hutan lindung. Adapun Nama- nama lahan pertanian yang di klaim adalah: Bapang, Parun, Sewu, Lutung, Golo Nalun, Wongko Longka, Odok Nungkal, Bengka, Ladar, Watu Satong, Ga’ang Wawi, Wongko ( Kampung ) Lebo, Odok Songka Odok Datar, Toko Kaung, Nio, Naju, Beku, Koja, Rii Meje, Watu Rentu.
Berdasarkan kesepakatan melalui musywarah mufakat (Neki weki sama Ranga), pada tahun 1969 – 1974 Golo Lebo dijadikan Desa Gaya Baru. Pada Thn 1974 sampai saat ini Golo Lebo dijadikan nama Desa. Pada thn 2012 Desa Golo Lebo mekar menjadi 2 (dua) Desa yaitu : Desa Golo Lebo (Induk) dan Desa Kaju Wangi (Pemekaran).
|